Suatu kali seorang teman bertanya kepada saya:
Menikah dengan orang yang kau cintai
mencintai orang yang kau nikahi
Mana yang kau pilih?”
Saat itu spontan saya memilih yang kedua: mencintai orang yang saya nikahi (menikahi saya).
“Kenapa?”
Hhm… iya ya, kenapa?
Sebab jodoh adalah hal yang pasti, meski masih menjadi misteri bagi orang-orang yang belum menemukannya. Sedangkan mencintai adalah hal yang berbeda. Mencintai seseorang saat belum ada hak atasnya, bagaikan menggenggam bara. Jika Allah berkenan menjadikannya pendamping seumur hidup, maka bara itu akan menjelma menjadi energi untuk meciptakan kebersamaan yang indah. Tetapi, jika Allah tidak berkenan mempersatukan, bara itu akan membakar, dan bisa jadi menghanguskan diri sendiri.
Lebih dari itu, pilihan kedua rasanya lebih aman dari berbagai penyakit hati, yang bisa jadi mengotori niat suci menikah karena Allah.
Itu jawaban saya saat itu. Tetapi, beberapa jenak setelah itu, saya termenung, mencoba berfikir lebih dalam dan menyelami jauh ke dalam lubuk hati. Lalu, saya pun meneruskan pertanyaan itu ke temen saya yang lain.
Dan dia menjawabnya sama dengan jawaban saya.
Tetapi, saya ragu atas jawaban itu, benarkah begitu?
Pilihan pertama, menikah dengan orang yang saya cintai, mengalirkan energi dan semangat untuk meraih sesuatu yang menjadi dambaan hati. Dan tentu adalah hal yang sangat menyenangkan bisa berdampingan dengan orang yang dicintai, tidak ragu mengumumkannya kepada public, tidak malu mengekspresikannya, sebab cinta itu sudah dilegalkan.
Pilihan kedua, mencintai orang yang saya nikahi, hhmm… pasrah, menerima nasib. Ah tidak, saya menterjemahkannya menjadi bentuk syukur kepada-Nya. Sebab apa yang telah Allah pilihkan untuk kita, tentu itulah yang terbaik. Maka, kenapa tidak memaknai rasa syukur itu dengan mengupayakan cinta, menumbuhkan dan merawatnya.
Bukankah jika saat ini saya mencintai seseorang, itu tidak tumbuh begitu saja? Ada masa-masa, ada hal-hal, ada peristiwa yang membuat saya mencintainya. Lalu, kenapa hal-hal itu tidak bisa ditumbuhkan kepada orang yang sudah Allah pilihkan untuk saya?
Tetapi, sekali lagi, betapa menyenangkan jika yang pertamalah yang menjadi pilihan, menikah dengan orang yang saya cintai, sebagaimana Fathimah yang menikah dengan Ali, sebagaimana Khadijah yang menikah dengan Muhammad.
Tetapi, kalaupun akhirnya Allah memilihkan orang yang lain, maka pilihan kedua pun bukan hal yang tidak menyenangkan. Tidak ada yang tidak mungkin. Sebab cinta memang harus diupayakan.