"Aku ingin menikahi hidupku"


Adalah waktu yang menciptakan warna dalam hidupku. Saat aku punya waktu sesaat untuk kembali mengurai hidup, aku terpana. Begitu banyak yang telah Tuhan ajarkan padaku.
Tapi selama ini kemana saja aku ?

Dalam satu waktu, aku melihat betapa banyak kerjap pesona, kerjap bahagia yang telah aku dapatkan. Aku jadi malu. Kemana saja aku ?

Saat aku mulai belajar untuk berdiri tanpa kaki, aku terpana, betapa kuat aku, betapa seimbangnya aku. Aku jadi terharu. Ah, kemana saja aku ?

Dan bila jiwaku harus aku gulung kemudian aku sekakan ke dahimu, aku menangis, betapa aku mencintaimu, betapa aku membutuhkanmu. Aih, kemana saja aku ?

Aku ingin menikahi hidupku, seperti kamu menikahiku...

-----------------

'This evening'



Bobby Caldwell - "The real thing"


Stanley Clarke & George Duke "Sweet Baby"

Marcus Miller "So What"

Marcus Miller "Burning Down The House"

Rick Price "Heaven Knows"

Alex Bugnon "So In Love"

Alex Bugnon "Harlem On My Mind"

"Perjalanan (tak berujung)"


"Apa pendapatmu tentang aku ", tanya Tantri pada Seto.

Dengan mata yang tak lepas dari buku yang dibacanya, Seto menjawab datar, "Aku belum terlalu mengenalmu"

"Hah ??"
"Belum terlalu mengenalku kamu bilang ?"
"Lalu apa yang kamu pikirkan selama setahun kita saling kenal ?"
"Kamu tak perduli dan tak ingin mengenalku, atau kamu termasuk seorang yang tak perlu tahu bersama siapa kamu bersahabat ?"

Sejenak, Seto mengalihkan pandangannya dari bukunya ke wajah Tantri yang sewot. Tak berkomentar. Datarrrrrr..... banget

Hih, manusia apa sih ini, gumam Tantri. Kenapa aku harus bertemu orang macam begini. Apa sih yang menarik dari dia. Cakep nggak, keren juga jauh, body oke juga nggak sama sekali.

Tantri berusaha membuang rasa marahnya jauh-jauh. Percuma marah dengan mahkluk beginian, pikirnya.

Kereta berhenti di Stasiun Purwokerto. Seto dan Tantri masih sama-sama diam. Sibuk dengan jalan pikiran masing-masing. Suara pedagang getuk goreng dan kopi panas, tak bisa membuyarkan lamunan mereka. Seolah-olah ada dua planet berbeda dalam kereta itu, yang satu dihuni Seto dan yang satunya dihuni Tantri. Hanya satu yang sama dari mereka, mereka sama-sama mau ke JOGJA....

"Ditinggalkan"



Ditinggalkan oleh 'teman hati' lebih menyedihkan dibandingkan ditinggalkan oleh ~hanya~ 'teman hidup'.

Pagi ini aku melihat upacara pemakaman Ibu Ainun Habibie di salah satu televisi swasta. Saat Pak Habibie harus menaburkan bunga terakhir di liang lahat ibu, beliau tak kuasa menahan tangisnya. Aku melihat tangisannya bukan tangisan 'basabasi', tapi tangisan dari hati karena telah ditinggalkan oleh 'sahabat hatinya' untuk selamanya.

Seperti sebelah hatinya telah pergi. Seperti separuh semangatnya telah pergi, Seperti separuh jiwanya telah pergi. Dan seperti separuh pikiran2nya telah pergi.
Lalu kepada siapa harus berbagi ?

Ah aku jadi ikut menangis. Betapa indah rasa cinta itu.
Menikah memang mudah. Berkenalan, merasa cocok (walau kadang tidak selalu), kemudian menikah, memiliki anak, dst...dst....
Tapi menjadikan diri kita sebagai 'sahabat hati' bukan sekedar 'teman hidup' buat pasangan kita adalah satu tantangan.
Bagaimana kita akan dikenang oleh orang2 yang paling dekat dalam hidup kita, setelah kita nanti mati.

Ah...Ya Tuhan, berikan aku kesempatan buat bisa menjadi 'sahabat hati' buat suami dan anak2ku. Bukan demi seberapa airmata yang akan mereka teteskan saat aku 'pergi' nanti, tapi untuk mengukir kenangan indah di hati mereka...............

(Selamat jalan Ibu Ainun, cinta untukmu utuh, cinta yang benar2 tulus, setulus senyummu..)

"H A T I"


Hati ?
Ah, terkadang aku mulai sangsi: benarkah hatimu masih bisa menangkap rasa seperti hatiku yang sanggup merefleksikan rindu, dendam, bangga, bahagia, sedih, takut, berani, benci, dan cinta ?

Aku jadi ingin tahu: terbuat dari apakah sebenarnya hatimu ?

Betulkah ia serupa segumpal daging berbentuk mirip daun waru seperti yang digambarkan anak SMU di surat cintanya yang penuh kata “I love you”, seperti dilambangkan kelompok musik ”Dewa” sejak album “Bintang Lima”, dan tepatnya seperti dijelaskan ahli anatomi di buku-buku biologiku dulu ?

Atau jangan-jangan, hatimu telah membatu : mengingkari setiap rindu yang diam-diam melindap ke relung kalbumu, sekaligus menghapus semua ingin untuk bertemu........

*******

"Catatan Tentang Hari"



Pagi kemarin, aku bertemu seorang bocah laki-laki berseragam bawah merah dengan memanggul tas ranselnya yang tidak terlalu besar berjalan di depanku dengan senyum mengembang di bibirnya. Aku tahu ia pasti sedang menuju ke sekolah untuk bertemu teman-temannya. Tidak hanya untuk bermain, tertawa tapi juga belajar.

Belajar mengerti mengapa permen di sakunya yang berjumlah 5 pagi tadi, kini tinggal 1. Mengapa ia harus membayar 500 rupiah untuk 2 roti yang ia beli di kantin. Ia belajar bagaimana cara menulis dan mengucapkan dengan benar nama lengkapnya. Bocah laki-laki itu akan belajar bagaimana cara membaca buku cerita favoritnya.

Siang kemarin, aku melihat seorang wanita berumur 20-an berkaos biru muda bersama seorang pria naik mobil putih yang bertipe lama. Matanya yang bulat seakan-akan awas terhadap sekelilingnya. Berkali-kali ia melihat bergantian ke arah spion dan lampu lalu lintas yang masih menyala merah. Berkali-kali pula ia mengangguk saat si pria berbicara kepadanya.

Aku tahu wanita 20-an itu pasti sedang belajar mengendarai mobil. Aku menyimpulkannya dari tulisan berhuruf besar-besar di atas mobil putih. Ia pasti belajar bagaimana cara menghidupkan mesin mobil. Belajar bagaimana cara menjalankan mobil di jalan raya yang mulai tak sepi, kini. Wanita berumur 20-an itu pasti akan memahami mengapa ia harus mendahului kendaraan di depannya dari sebelah kanan.

Sore kemarin, seorang gadis berambut hitam lurus mendahuluiku dengan sepeda jingganya. Ia pasti ingin segera sampai di tempatnya menambah pengetahuan yang tak ia peroleh di sekolahnya.

Di situ, seperti tempat-tempat yang sama, ia akan belajar memahami setiap gerakan yang dicontohkan pelatihnya. Ia akan belajar menyesuaikan gerakan tubuhnya dengan irama yang ia dengar. Gadis bersepeda itu akan belajar menghafal tiap gerakannya dalam sebuah tarian agar ia bisa mempertontonkannya pada ibunya, ayahnya, saudara-saudaranya, teman-temannya bahkan mungkin orang lain yang tak pernah ia kenal.

Malam kemarin, seorang laki-laki berkacamata minus naik mobil keluaran terakhir berwarna biru, berhenti tepat di sebelah mobilku di traffic light Jl. Kaliurang. Dia pasti akan pulang ke rumah. Ia mengenakan baju rapi ala pekerja kantoran, dan dalam mobilnya masih disibukan dengan telepon genggamnya yang tak pernah lepas dari genggamannya, sembari menyetir. Aku melihat ada tulisan satu perusahaan asuransi pada lengan kiri kemejanya. Ah, pegawai asuransi rupanya.Paling tidak itulah yang kutangkap dari tindak tanduknya. Pemuda itu pasti sedang memprospek kliennya untuk bertambah yakin dengan produk asuransi perusahaannya. Itu dia lakukan demi anak istrinya di rumah mungkin, atau pacarnya, atau tunanganya atau mungkin adik2nya juga kedua orang tuanya.

****

Pagi ini, aku bertemu kembali dengan bocah laki-laki berseragam bawah merah. Kali ini ia bersama 2 orang temannya. Berjalan sambil bercerita pengalaman masing-masing setelah pulang dari sekolah, kemarin. Sesekali mereka tertawa. Tas yang mereka bawa berisi buku-buku tentang cara menghitung dan membaca. Mereka masih belajar. Dan mereka merasa senang. Itu yang tergambar pada wajah mereka.

Siang ini, di perempatan yang sama, aku melihat lagi wanita berumur 20-an yang sedang belajar mengendarai mobil saat aku menyeberang. Tapi kali ini dia memakai kemeja warna merah muda dan rambutnya yang panjang dikuncir satu seperti ekor kuda. Saat lampu hijau menyala dan mobilnya mulai berjalan, terlihat sekali ia belum terlalu mahir menyetir. Sepertinya ia harus terus belajar agar benar-benar mampu mengendarai mobilnya tanpa diawasi.

Sore ini, pun, gadis berambut hitam lurus kembali mendahuluiku di sebuah jalan kampung yang kulalui setiap hari. Sambil bersenandung ia mengayuh sepedanya sekuat tenaga untuk sampai di tempatnya belajar menari. Sepertinya tak pernah lelah dan tak pernah bosan ia menuju tempat itu untuk belajar. Karena ia menyukainya.

Malam ini, saat aku pulang membeli isi kulkas di salah satu supermarket di jalan Kaliurang, di traffic light yang sama kembali aku bertemu laki-laki berkacamata minus itu dengan mobil yang sama dan seragam yang sama, dan tetap dengan telepon genggam yang menempel di telinganya. Bahkan kini mobilnya berhenti tepat persis di samping mobilku. Lebih dekat dari kemarin. Ia mengeluarkan sebuah buku setebal 1 cm dan menuliskan sesuatu hasil percakapannya di telepon genggamnya. Kali ini dia lebih serius memahami tiap kata dengan lawan bicaranya itu. Dia tak merasa terganggu meski ia harus menelpon sambil memegang setir dan menunggu lampu menjadi hijau kembali. Begitu serius ia menelpon, mencatat, tertawa hingga membuatku tertarik terus melihat ke arahnya. Aku hanya berpikir ‘Apa yang dibicarakannya hingga membuatnya begitu serius tak perduli sekelilingnya ?’.

Aku pikir pagi esok, bocah laki-laki berseragam itu, dan kedua temannya, masih berangkat ke sekolah untuk belajar dengan wajah riang. Sambil sesekali berlari, tertawa, dan bercerita. Esok, esok dan esoknya lagi ia akan menuju rumah keduanya, sekolah, sampai ia benar-benar pandai menghitung dan membaca. Selama ia masih menyukainya, tentunya.

Aku pun merasa, siang esok, wanita berumur 20-an itu tetap melintasi perempatan tempatku menyeberang. Ia akan masih ditemani seorang pria dari tempat kursus mengemudi tempat wanita itu mendaftarkan diri sampai ia mahir mengendarai mobil di jalanan yang dipenuhi kendaraan-kendaraan bermotor. Karena ia memang menginginkannya.

Begitu juga gadis berambut lurus, sore esok pasti akan tetap mendahuluiku dengan sepeda jingganya. Ia akan mengayuh sepedanya ke sanggar tempatnya belajar menari. Ia akan melakukan terus sore esok, esok, dan esoknya lagi hingga ia mahir menari tarian yang diajarkan pelatihnya di sanggar. Karena ia bangga bisa menari.

Aku juga akan terus bertemu pemuda asuransi berkacamata minus malam esok di traffic light yang sama. Setiap pulang kantor pasti ia masih menelpon, mencatat, tertawa dan mungkin membuat janji sekedar minum kopi dengan koleganya. Demi mencapai tujuan hidup entah dengan keluarganya ataupun dengan kedua orangtuanya.

Tiap hari aku melihat dan bertemu orang-orang bahkan anak-anak kecil pergi ke sekolah, tempat kursus, sanggar, tempat bimbingan belajar ataupun kantor untuk belajar memahami, mengerti, mencoba, menguasai hal-hal yang sedang mereka hadapi. Hal-hal yang mereka sukai, mereka inginkan. Hal-hal yang ingin mereka dapatkan dan kuasai hingga membuat mereka bangga. Ada tempat untuk mereka belajar mengerti akan benda-benda, ilmu-ilmu, masalah-masalah empirik. Ada tempat untuk mereka memahami suatu teori untuk mereka praktekkan.

Namun aku belum pernah melihat dan tak pernah tahu dimana tempat yang bisa kudatangi untuk berbagai masalah tentang hati dan perasaanku. Dimana aku bisa belajar memahami sifat orang lain? Dimana aku bisa belajar mengerti maksud orang lain? Aku pun belum pernah tahu dimana tempat yang bisa kudatangi dan aku bisa mendaftar sebagai muridnya untukku belajar menyatukan 2 hati yang benar-benar berbeda. Aku pun ingin tahu dimana aku bisa menyekolahkan kepekaanku hingga ia benar-benar berfungsi dengan baik saat aku berhadapan dengannya. Aku, ingin memahami seseorang itu dengan segala sifatnya. Aku, ingin mengetahui maksudnya tanpa ia sendiri yang mengucapkannya.

Dimanakah tempat itu ada ? Apakah bocah laki-laki berseragam atau wanita berumur 20-an atau gadis berambut hitam lurus atau pemuda asuransi berkacamata minus itu tahu dimana tempat yang aku maksud ?.....

"Aku Tahu" (tapi mungkin juga hanya rasaku)


Aku tahu,
Kita tak pernah berhenti bercakap
Walau tanpa kata

Aku tahu,
Kita tak boleh berharap
Karena harap itu tak pernah ada

Akupun tahu,
Kita hanya punya doa yang sama
Harapan yang sama

~ Bukankah kita tahu, bahwa perasaan ini yang membawa kita kepada Nya
di setiap akhir malam ? ~


"Surat Ke Delapan"


It's telling about LOVE, betapa cinta itu sangat indah, sekaligus sedih, mengetarkan tapi tak pernah 'mati'. Satu cerpen 'manis'. Enjoy it...
...........

Aku tak biasa menulis surat. Tak biasa merangkai kata-kata yang bisa dikategorikan ‘indah’. Tak biasa mengungkapkan pelbagai rasa meski hanya dalam sebuah huruf ‘a’ yang dituangkan dalam lembar kosa, apalagi lebih itu.

Tapi aku pernah menuliskan tujuh buah surat yang sayangnya tak pernah kukirimkan kepada dia yang kutuju. Sebab aku malu. Aku malu jika aku harus menatap matanya yang coklat, merasakan gelegak cinta yang tak bisa kutahan. Aku malu jika aku harus menyodorkan tanganku kepadanya, berharap dia menyambutku, lalu pelan-pelan membaca surat-suratku di hadapanku. Lantas kau pasti bertanya, kenapa aku tak mengirimkannya lewat pos saja? Kautahu, aku laki-laki. Aku lebih malu jika aku menunjukkan ketidakjantananku di hadapannya. Sebab kautahu, laki-laki harusnya berani mengungkapkan perasaannya secara langsung kepada wanita yang dicintainya. Tidak seperti aku.

***

Aku menemukan mereka di tumpukan laci paling bawah lemariku. Tidak kulipat. Karena aku tak mau surat-suratku menjadi pucat dengan bekas-bekas lipatan, seperti kerut pada wajahku yang mulai menua. Kulihat sekilas, melahirkan senyuman. Dan seolah kerinduan, aku menyengajakan duduk di pinggir jendela dengan matahari senja, membaca mereka, satu per satu …

/1/
: zane,

Aku cuma perlu melipat rindu. Lalu kusembunyikan di bawah bantalku. Sebab malam ini aku sangat ingin memimpikanmu.

/2/
: zane,

Tidakkah kau ingat malam itu, saat kita berdua menuliskan berbait mimpi di atas kertas putih? Lalu melipatnya hati-hati menjadi sebuah pesawat mini yang kita terbangkan ke langit tinggi?

Dan tidakkah kau ingat, di malam hari ke empat belas bulan berikutnya, aku membawakan sepotong bulan ke rumahmu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Lalu kuletakkan tepat di pangkuanmu. Agar kau tahu, betapa besar pengorbananku untukmu.

/3/
: zane,

Akhirnya telah selesai kubuat, sebuah perahu yang cukup untuk kita naiki berdua, mengarungi samudera kehidupan. Sudah kusiapkan pula dua kail untuk kita memancing ikan, menjadi bekal agar tak sampai kelaparan.

Tenang, perahu ini takkan mudah oleng. Takkan mudah goyah terkena terpaan ombak kehidupan. Sebab aku sudah cukup lama belajar mendayung, mengenali ombak dan menjinakkannya. Kau tak percaya?

/4/
: zane,

Rumah baru kita cuma beralaskan lantai semen, bukan keramik. Maka kau tak boleh berbaring di sana, tak baik untuk kesehatan. Tidak pula ada langit-langit. Hanya genting tua pemberian tetangga saat perkawinan kita. Dengan begitu kita bisa mendengar senandung hujan katanya.

Tapi sudah kusiapkan sebuah kasur untuk kita berdua meski cuma kasur kapuk tua yang kubeli dengan harga murah. Tanpa dipan. Tanpa bantal. Tanpa guling. Pun tanpa selimut. Sebab kau sudah punya aku, yang menjadi semua itu.

/5/
: zane,

Kita belum punya kendaraan. Tapi bukan berarti kita tak bisa berjalan-jalan. Tenang saja, kita tetap bisa menjejak bebasah rerumputan di akhir pekan. Kita juga tetap bisa makan ayam goreng di warung sebelah restoran. Atau sekali-kali kita bisa pergi menikmati belantara hutan, menikmati kealamian.

Terserah. Asal jangan kau ajak aku pergi melihat bulan.


/6/
: zane,

Aku bukan Sukab yang mampu memotong senja seukuran kartu pos. Aku bukan Sapardi yang bisa menyampaikan cintanya kepada angin, kepada awan, kepada setiap unsur kehidupan. Sebab aku hanyalah suamimu, pegawai negeri biasa yang terbiasa menghitung angka-angka. Mengeja tiap bait logika.

Aku ingin menyatakan rindu, tapi tak bisa. Aku ingin menikmati bulan madu, juga tak bisa. Maaf, aku sudah harus bertugas ke luar kota. Meninggalkanmu di sana, sendirian. Meski belum genap dua bulan kita bermesraaan.


/7/
: zane,

Kau sudah minta mangga muda meski baru dua bulan kita bergenggaman tangan. Menyatukan badan. Menyatukan kehangatan. Padahal sekarang sedang tak musim mangga. Cuma ada duku, durian, dan rambutan yang bahkan sampai diobral di pasaran. Tapi kau tetap terus merengek minta mangga muda. Sampai kadang-kadang mengancam takkan mau makan nasi, tak mau mandi, dan tak mau tidur denganku lagi.

Aku ke Karawang. Ke Bekasi. Katanya tak ada mangga di sini. Aku terus ke Indramayu hingga Ajibarang yang pusatnya pisang. Tetap saja tak ada. Sampai-sampai aku kehabisan uang tak bisa pulang.


Aku ingin membuatmu bangga. Aku akan melakukan apa saja asal membuatmu bahagia. Makanya aku rela berjalan menyusuri rel kereta api sembari mencuri pandang ke halaman rumah-rumah yang berjajar rapi di sebelah kiri dan kanan. Tapi tetap ada tak mangga muda. Jangankan itu, pohon mangga pun tak ada!

Maka aku pulang dengan wajah tertunduk. Kecewa.

Tapi tiba-tiba, saat aku sampai di depan rumah, kau menyambutku dengan pelukan. Tak peduli dengan bau badan yang sudah menyengat. Sebab berhari-hari aku tak mandi. Kecuali dengan keringat.

(dan kulihat di atas meja ada sepiring mangga muda, entah dari siapa)

***

Tidak ada surat ke delapan. Hanya tujuh. Dan cukup tujuh. Meski tujuh pun, sudah cukup bisa membuatku berairmata. Sebab satu per satunya adalah kenangan, dan juga perjalanan. Sebab segalanya adalah kerinduanku untuknya, yang kini sudah tak ada. Sebab … ah, aku tak tahu.
Di dinding, tepat di atas ranjang kami itu, terpasang sebuah pigura dengan dua buah senyum yang terlalu manis untuk kukenang. Aku masih menatapnya sejenak. Menatap wajahnya yang sudah tak bisa kulihat lagi.

Dan aku menangis, untuk kesekian kali.

Pelan-pelan aku turunkan pigura itu. Kupandangi sekali lagi. Sudah saatnya aku menyimpan kerinduan, menetralisir kesedihan. Tapi seperti ada yang janggal di sana. Seperti kertas, menyumbul menunjukkan dirinya. Dan memang kertas yang terlipat rapid an tampak sengaja diselipkan. Pelan-pelan kubuka. Lalu kubaca.

Kepada suamiku yang tersayang,
Apa aku masih hidup saat kau menemukan tulisan tanganku ini?
Kurasa tidak. Sebab tak mungkin kau punya waktu untuk mengurusi hal-hal kecil di rumah ini. Apalagi menatap kenangan kita. Kecuali ketika kau ingin membenahi rumah ini, untuk melenyapkan kerinduanmu akanku yang sudah tak bisa kaulihat lagi.

Suamiku, aku benar-benar sudah mati, ya?
Baiklah. Tidak apa-apa. Kau jangan menangis ya di sana. Sudah, ubah sifatmu yang sangat mudah khawatir itu. Laki-laki harus tegar. Meski kuakui, sebab itulah aku tak pernah menceritakan penyakitku ini kepadamu. Aku takut konsentrasimu akan terganggu karenaku…


Suamiku…
Aku ingin menceritakan sebuah rahasia. Kautahu? Aku sudah membaca ketujuh suratmu. Diam-diam.
Kau tidak marah kan?

Surat pertamamu menceritakan rindu.
Apa kau menuliskannya saat kita masih berpacaran?
Sepertinya iya.
Katamu kau menyembunyikan rindu itu di bawah bantal. Tapi kautahu, aku menemukan rindu itu. Lalu kusembunyikan di tempat lain. Sebab aku tak mau muncul di dalam tidurmu. Aku lebih ingin kau datang padaku, dan mengatakan rindu dengan gambling kepadaku. Meski tidak mungkin seperti itu …

Surat keduamu membuatku tersentuh. Aku tentu saja ingat hari itu. Saat itu, kau malu-malu memasangkan cincin di jariku, mengatakan cinta untuk pertama kalinya di depanku. Padahal sudah tiga bulan kita berpacaran. Tapi baru sekali itu kau mengatakan cinta. Kautahu, aku benar-benar bahagia. Apalagi saat kau memeluk dan menciumku dengan hangat.
Dan tentang bulan. Aku masih terus menyimpannya. Pun sampai aku menuliskan surat ini. Masih kusimpan di ruang hatiku yang gelap. Tapi karena kau sudah membaca surat ini, kau harus mengambil bulan itu kembali (kuletakkan di lampiran paling kiri).

Suamiku…
Apa kau ingat apa syarat mutlak wanita yang kauterima jadi istrimu?
Kau bilang saat itu, bahwa wanita itu harus mau dan bisa hidup susah denganmu. Maka aku menerimanya. Sebab aku sudah terbiasa hidup di lingkungan yang biasa-biasa saja. Maka aku, menikmati rumah tua kita yang tanpa atap, kasur tua tanpa dipan, dan jalan-jalan kita di tiap akhir pekan(meski tak berkendaraan). Asalkan ada kau, aku sudah sangat bahagia.
Sebab kautahu, aku sangat mencintaimu…

Tentang Sukab:
Ah kau memang sangat menguminya, ya? Sampai-sampai kau mengutipnya dalam suratmu untukku. Tapi tak apalah. Aku juga suka pada Sukab. Tentu tidak sebesar rasa sukaku padamu. Sebab kau lebih itu. Kau telah membawa bulan ke pangkuanku.

Suamiku…
Aku tertawa membaca surat ke tujuhmu. Maaf… hari itu aku sangat kesal sekali. Dan kau malah pergi berhari-hari mencari mangga muda. Dan pulangnya kau kubuat cemburu dengan tidak menceritakan darimana mangga di atas meja itu. Baiklah kuberitahu, mangga itu dari tetangga kita. Dia punya pohon mangga di belakang rumahnya. Kau pasti tak tahu kan? Makanya kubilang, lebih peduli lah dengan lingkunganmu. Kenali mereka. Jangan hanya diam saja di rumah dengan alasan capek sehabis bekerja. Ya?
Tapi aku bahagia. Sangat bahagia. Karena ternyata kau masih rela berkorban untukku.


Suamiku...
Aku tidak menangis saat menulis surat ini. Makanya, kau juga jangan menangis saat membacanya.

Hah, aku sudah mati, ya?
Dan maaf, kalau janin ini juga ikut mati…

Suamiku…
Maaf kalau tulisanku berantakan. Dan terlalu banyak aku berbicara.
Jaga dirimu baik-baik.

(Bukankah aku sudah menepati sebuah janji?Untuk mencintaimu sampai aku mati?)

Istrimu, Zane, yang mencintaimu…


Maka aku menangis. Benar-benar menangis. Tetes-tetes airmata membasahi kertas itu sebelum kulipat seperti sedia kala. Lalu kusatukan dengan tujuh surat lainnya. Kukembalikan ke tempat semula. Di bilik rahasia, tempat persembunyian cinta.***

E N E G

Eneg, mual adalah akibat dari menahan rasa nggak enak. Mungkin begitu juga dengan hidup. Bila ditahan-tahan, hal yang nggak enak akan menyebabkan eneg, mual. Dan akhirya akan menimbulkan penyakit yang macam-macam, seperti demam, migrain, diare dan masih banyak yang lebih serem lagi.

Padahal awalnya -hanya- dari rasa eneg dan mual.
Oleh karena itu, yang penting adalah menjaga agar kita tidak menjadi eneg atau mual terhadap segala hal. Caranya ?. ~mungkin~ JANGAN BERLEBIHAN... terhadap segala hal. !!... alias 'Dont be LEBAY.....!!' :p

Hmmm....

'Bahagia'


....
Hadapi dengan senyuman,
Semua yang terjadi biar terjadi,
Hadapi dengan tenang jiwa,
Semua kan baik-baik saja
Bila ketetapan Tuhan,
Sudah di tetapkan tetaplah sudah,
Tak ada yang bisa merubah,
Tak ada yang bisa berubah,


(bait lagu dari Dewa menemani Kayla menyusuri sepanjang Jl. Magelang, arah pulang)

Kayla menyetir mobilnya sambil senyum-senyum sendiri. Hari ini, adalah hari seperti hari-hari kemarin, biasa saja.
Yang membedakan adalah hari ini dia merasa telah banyak membuat orang lain bahagia.
Paling tidak, tersenyum..

Ah, memang benar rupanya, rasa bahagia itu tidak ada tolok ukurnya. Biarkan saja semua berjalan apa adanya, nikmati prosesnya dan syukuri hasilnya. Without comparing....

...............

"Kita Titipkan Rahasia Pada Senja"


“Aku cemburu. Aku cemburu pada kupu-kupu dan setangkai bunga sepatu di taman itu. Aku cemburu dan tak tahu kenapa aku cemburu”

Begitu tulis saya pada selembar kertas. Sebuah pengakuan yang saya lakukan sendiri. Mungkin suatu hari akan saya akui di depanmu.

Ombak berderu merayu pohon-pohon kelapa yang sedang menantang desau angin sore. Di sisi lain langit berwarna biru pastel tanpa gumpalan awan seolah mengisyaratkan pada burung-burung untuk menjajaki senja bersama keluarganya.

Tak jauh dari bibir pantai, saya selipkan kaki diantara pasir yang hangat. Tatapan saya terlempar jauh ke tengah lautan tak berbatas. Saya ingin membuang cemburu disini, batin saya. Tapi enggan bibir berkata. Ada yang sengaja menahan. Keadaan. Dan hanya satu yang bisa melontarkannya; impulsivitas. Spontan.
Ya, setelah seminggu kita berjarak seperti Bumi dan Planet Pluto, hari ini tiba-tiba kamu melarikan saya ke tempat ini. Saya yang emosional ini barangkali lebih lama menyimpan sendu yang hadir antara kita. Berbeda denganmu yang dengan ringan menyikapi rantai masalah ini.

Kamu yang sedari tadi membidik obyek, tiba-tiba sudah duduk di sebelah saya, merapikan poni di kening saya sekilas lalu menyodori hasil bidikanmu yang semuanya nyaris sempurna.

"Ini paling bagus", katamu seraya menunjuk potret saya yang sedang mengukir pasir dengan jari. Saya mengangguk setuju.

"Kamu suka?"

‘Suka’ ujar saya.

Setelah itu kita berdua saling bisu. Saya masih mengamati deretan potret, sedang kamu memeluk lutut sembari merokok.

"Serena’",panggilmu pelan.

"Ya?", Saya menoleh sekilas lalu menekuni potret-potretmu lagi.

"Ada yang kamu sembunyikan dariku", katamu lirih.

"Tidak ada, hanya perasaanmu", elak saya.

"Aku ingin tahu, Serena.."

Mendadak saya kehilangan gairah mencermati potret-potretmu. Saya kembalikan kamera padamu. Kali ini selain enggan berkata, saya malas membalas tatapanmu yang melemahkan sendi-sendi.

"Serena, aku ingin mendengarmu bicara". Kamu sedikit memaksa. Darah saya mendidih pelan-pelan. "Saya sedang cemburu, Igo".
‘Tapi, aku sedang malas’ Saya menolak.

"Ayolah Serena, kita sudah lama berteman, aku suka mendengar semua keluh kesahmu”

"Benarkah, Igo?, Saya bahkan tidak pernah tahu kalau kamu suka mendengar cerita-cerita saya. Yang saya tahu kamu sibuk dengan aneka obsesimu menaklukkan dunia. Tak pernah sedikitpun kamu mengungkit ketertarikan pada cerita-cerita saya"

"Serena, apa kamu tahu siapa aku? Menurutmu aku orang yang seperti apa?", tanyamu tiba-tiba.

"Aku tidak peduli siapa kamu Igo. Aku hanya peduli keadaanmu", gumam saya.

"Aku tidak bertanya itu, Serena. Aku bertanya, apa kamu kenal aku? Aku tidak butuh dipedulikan, aku baik-baik saja, aku bisa jaga diri Serena", nada suaramu sedikit meninggi. Lalu kamu meraih pipi saya yang memerah dan mata kita beradu. "Kamu kenal aku, Serena?"

Kamu lelah bertanya pada saya lalu punggungmu rebah di pasir. Bau air laut tak henti menyesaki rongga hidung dan sekali saja pekik camar hadir diantara kebisuan kita.

"Sejujurnya aku tidak pernah mengenalmu, Igo", ujar saya diakhiri helaan nafas.
"Tak ada orang yang benar-benar mengenal kita sampai kita mati, mereka hanya berusaha memahami kita"

Kamu bangkit dan kembali memeluk lutut. Kepalamu menoleh ke arah saya. Sekilas saya pun ikut menoleh.
"Kamu benar Serena, kamu benar sekali", bisikmu lirih.

Tiba-tiba saya merasa inilah saat yang tepat untuk membuat sebuah pengakuan padamu. Seperti hendak mengawali pidato yang panjang, saya selipkan doa dalam hati. Bismillah.

"Aku merasa akhir-akhir ini kita jauh", kata saya mengawali pengakuan. Sebuah jeda panjang saya cipta. Bukan sengaja membuatmu penasaran, tetapi karena saya berusaha tidak begitu emosional dalam penyampaian.
"Aku cemburu, Igo. Aku cemburu pada Bunga Sepatu. Dan aku tidak tahu kenapa aku cemburu padanya. Apakah ini wajar? Sedang kamu hanya sahabatku", tutur saya.

Sore kian tipis. Langit bukan lagi biru pastel, namun jingga menyala. Orang-orang di pantai ini mulai susut perlahan tanpa dikomando. Namun saya dan kamu masih galau dengan sekelumit kisah ini.

"Aku nyaman bersamamu, Serena", Kamu tersenyum pahit pada saya.
"Dan aku menyadari begitu susah menjaga hati, itulah kenapa aku menghindar", kata-katamu seperti pukulan.

Kaca-kaca di mata saya pecah dan sebulir airmata jatuh begitu saja.

"Dan disaat yang bersamaan Bunga Sepatu hadir, terjadi begitu saja", pungkasmu seraya menghapus air mata di pipi saya.
"kamu milik orang lain, Serena"

Saya sesenggukan seperti menyaksikan pemakaman orang terkasih. Wajah saya terbenam dalam dua telapak tangan, airmata tumpah ruah disana, dan bahu saya naik turun seirama detak jantung.

"Aku kesepian tanpamu, Igo", kata saya setelah tangis usai.

"Barangkali aku juga, Serena. Kamu seperti harmoni yang melengkapi kehidupanku", kamu mematikan rokokmu.

Tak berapa lama ponsel saya berdering.
Yusuf calling..
Pacar saya.
Bersamaan dengan itu, kamu menerima sms.

"Halo, Suf"
"Iya.. Aku sama Igo nih di pantai", Saya melirikmu yang sedang menatapi saya. Kita seolah-olah sama-sama tahu apa yang harus kita lakukan. Jemarimu mengetik membalas SMS
......

Setelah sambungan terputus, kamu buru-buru memeluk saya. Dalam pelukan itu kamu berbisik pada saya

"Kita titipkan saja rahasia ini pada senja".

Saya mengangguk, lalu pelukanmu melonggar dengan sendirinya diikuti bunyi debur ombak menyerbu bibir pantai.
Dari kejauhan saya lihat Yusuf melambaikan tangan ke arah kita. Kamu membalas lambaian tangannya dengan senyum mengembang. Dibelakang Yusuf, Bunga Sepatu berlari-lari kecil sambil mengibarkan scraft-nya, senyumnya lebar dan bahagia. Senja pun tinggal selangkah berpamitan.

Cemburu itu rupanya masih tersisa dan akan selalu ada.

"..kita titipkan rahasia pada senja. Bila ilalang itu layu, saya pasti kembali padamu. Jadi, biarkanlah desau angin melagu.."
*backsound - Never felt like this - Brian McKnight -

'sakit :('




Sehat ada karena adanya sakit. Bahagia ada karena adanya sedih... Tapi terkadang kita lebih mudah menguraikan rasa sakit dibandingkan sehat. Sebagi contohnya, kalo sakit trus kita ke dokter, maka dokter akan tanya bagian mana yang sakit ?, bagaimana dengan selera makannya ?, dll. Tapi kalo kita bahagia, maka tidak ada yang akan bertanya, apanya yang bahagia ? bagaimana rasanya ?

Sekarang, aku sedang menikmati rasa sakitku. Rasa demam ku, rasa lemesku, rasa pegal2 di semua tulang-tulangku...

Terima kasih ya Alloh, aku masih bisa 'merasakannya', hingga aku bukan termasuk orang yang 'mati rasa' hehehehehhe.....

"The Other Side"

Hmm....ternyata asyik juga 'memandang' hari dari sisi yang berbeda,

Aku sedang menikmati enaknya jalan-jalan dengan motor - dan mulai lancar, hahahaha -....
Ternyata naik motor ke pasar terasa lebih touching dengan lingkungan....
Terasa lebih touching dengan matahari....

Aku sedang menikmati my 'other side'
ho hohohoo..

"PRELUDE"


Perling cahayanya membuat terpaku. Tiada henti kamu bergumam, mencetuskan kata-kata yang kian tak terarah. Dalam wujudmu, kamu berpeluh, ada rasa getir yang selalu menyapamu. Ini memang seperti roda, seperti juga langit, dan seperti apa lagi, kamu tak tahu. Derai airmata seakan jatuh perlahan, merengut unsur-unsur yang terpatri. Kamu ratapi terus rotasi asam manis deburan malam itu. Kamu sadar bukan ?, kamu berada di dua cerita, tanah haram dan bebatuan suci. Entahlah, kamu pilih yang mana. Mentari tak kan mungkin lagi menjawab. Dia hanya membisu, mengikuti setiap huruf konsonan yang kamu ucapkan...

.............................