"Kita Titipkan Rahasia Pada Senja"


“Aku cemburu. Aku cemburu pada kupu-kupu dan setangkai bunga sepatu di taman itu. Aku cemburu dan tak tahu kenapa aku cemburu”

Begitu tulis saya pada selembar kertas. Sebuah pengakuan yang saya lakukan sendiri. Mungkin suatu hari akan saya akui di depanmu.

Ombak berderu merayu pohon-pohon kelapa yang sedang menantang desau angin sore. Di sisi lain langit berwarna biru pastel tanpa gumpalan awan seolah mengisyaratkan pada burung-burung untuk menjajaki senja bersama keluarganya.

Tak jauh dari bibir pantai, saya selipkan kaki diantara pasir yang hangat. Tatapan saya terlempar jauh ke tengah lautan tak berbatas. Saya ingin membuang cemburu disini, batin saya. Tapi enggan bibir berkata. Ada yang sengaja menahan. Keadaan. Dan hanya satu yang bisa melontarkannya; impulsivitas. Spontan.
Ya, setelah seminggu kita berjarak seperti Bumi dan Planet Pluto, hari ini tiba-tiba kamu melarikan saya ke tempat ini. Saya yang emosional ini barangkali lebih lama menyimpan sendu yang hadir antara kita. Berbeda denganmu yang dengan ringan menyikapi rantai masalah ini.

Kamu yang sedari tadi membidik obyek, tiba-tiba sudah duduk di sebelah saya, merapikan poni di kening saya sekilas lalu menyodori hasil bidikanmu yang semuanya nyaris sempurna.

"Ini paling bagus", katamu seraya menunjuk potret saya yang sedang mengukir pasir dengan jari. Saya mengangguk setuju.

"Kamu suka?"

‘Suka’ ujar saya.

Setelah itu kita berdua saling bisu. Saya masih mengamati deretan potret, sedang kamu memeluk lutut sembari merokok.

"Serena’",panggilmu pelan.

"Ya?", Saya menoleh sekilas lalu menekuni potret-potretmu lagi.

"Ada yang kamu sembunyikan dariku", katamu lirih.

"Tidak ada, hanya perasaanmu", elak saya.

"Aku ingin tahu, Serena.."

Mendadak saya kehilangan gairah mencermati potret-potretmu. Saya kembalikan kamera padamu. Kali ini selain enggan berkata, saya malas membalas tatapanmu yang melemahkan sendi-sendi.

"Serena, aku ingin mendengarmu bicara". Kamu sedikit memaksa. Darah saya mendidih pelan-pelan. "Saya sedang cemburu, Igo".
‘Tapi, aku sedang malas’ Saya menolak.

"Ayolah Serena, kita sudah lama berteman, aku suka mendengar semua keluh kesahmu”

"Benarkah, Igo?, Saya bahkan tidak pernah tahu kalau kamu suka mendengar cerita-cerita saya. Yang saya tahu kamu sibuk dengan aneka obsesimu menaklukkan dunia. Tak pernah sedikitpun kamu mengungkit ketertarikan pada cerita-cerita saya"

"Serena, apa kamu tahu siapa aku? Menurutmu aku orang yang seperti apa?", tanyamu tiba-tiba.

"Aku tidak peduli siapa kamu Igo. Aku hanya peduli keadaanmu", gumam saya.

"Aku tidak bertanya itu, Serena. Aku bertanya, apa kamu kenal aku? Aku tidak butuh dipedulikan, aku baik-baik saja, aku bisa jaga diri Serena", nada suaramu sedikit meninggi. Lalu kamu meraih pipi saya yang memerah dan mata kita beradu. "Kamu kenal aku, Serena?"

Kamu lelah bertanya pada saya lalu punggungmu rebah di pasir. Bau air laut tak henti menyesaki rongga hidung dan sekali saja pekik camar hadir diantara kebisuan kita.

"Sejujurnya aku tidak pernah mengenalmu, Igo", ujar saya diakhiri helaan nafas.
"Tak ada orang yang benar-benar mengenal kita sampai kita mati, mereka hanya berusaha memahami kita"

Kamu bangkit dan kembali memeluk lutut. Kepalamu menoleh ke arah saya. Sekilas saya pun ikut menoleh.
"Kamu benar Serena, kamu benar sekali", bisikmu lirih.

Tiba-tiba saya merasa inilah saat yang tepat untuk membuat sebuah pengakuan padamu. Seperti hendak mengawali pidato yang panjang, saya selipkan doa dalam hati. Bismillah.

"Aku merasa akhir-akhir ini kita jauh", kata saya mengawali pengakuan. Sebuah jeda panjang saya cipta. Bukan sengaja membuatmu penasaran, tetapi karena saya berusaha tidak begitu emosional dalam penyampaian.
"Aku cemburu, Igo. Aku cemburu pada Bunga Sepatu. Dan aku tidak tahu kenapa aku cemburu padanya. Apakah ini wajar? Sedang kamu hanya sahabatku", tutur saya.

Sore kian tipis. Langit bukan lagi biru pastel, namun jingga menyala. Orang-orang di pantai ini mulai susut perlahan tanpa dikomando. Namun saya dan kamu masih galau dengan sekelumit kisah ini.

"Aku nyaman bersamamu, Serena", Kamu tersenyum pahit pada saya.
"Dan aku menyadari begitu susah menjaga hati, itulah kenapa aku menghindar", kata-katamu seperti pukulan.

Kaca-kaca di mata saya pecah dan sebulir airmata jatuh begitu saja.

"Dan disaat yang bersamaan Bunga Sepatu hadir, terjadi begitu saja", pungkasmu seraya menghapus air mata di pipi saya.
"kamu milik orang lain, Serena"

Saya sesenggukan seperti menyaksikan pemakaman orang terkasih. Wajah saya terbenam dalam dua telapak tangan, airmata tumpah ruah disana, dan bahu saya naik turun seirama detak jantung.

"Aku kesepian tanpamu, Igo", kata saya setelah tangis usai.

"Barangkali aku juga, Serena. Kamu seperti harmoni yang melengkapi kehidupanku", kamu mematikan rokokmu.

Tak berapa lama ponsel saya berdering.
Yusuf calling..
Pacar saya.
Bersamaan dengan itu, kamu menerima sms.

"Halo, Suf"
"Iya.. Aku sama Igo nih di pantai", Saya melirikmu yang sedang menatapi saya. Kita seolah-olah sama-sama tahu apa yang harus kita lakukan. Jemarimu mengetik membalas SMS
......

Setelah sambungan terputus, kamu buru-buru memeluk saya. Dalam pelukan itu kamu berbisik pada saya

"Kita titipkan saja rahasia ini pada senja".

Saya mengangguk, lalu pelukanmu melonggar dengan sendirinya diikuti bunyi debur ombak menyerbu bibir pantai.
Dari kejauhan saya lihat Yusuf melambaikan tangan ke arah kita. Kamu membalas lambaian tangannya dengan senyum mengembang. Dibelakang Yusuf, Bunga Sepatu berlari-lari kecil sambil mengibarkan scraft-nya, senyumnya lebar dan bahagia. Senja pun tinggal selangkah berpamitan.

Cemburu itu rupanya masih tersisa dan akan selalu ada.

"..kita titipkan rahasia pada senja. Bila ilalang itu layu, saya pasti kembali padamu. Jadi, biarkanlah desau angin melagu.."
*backsound - Never felt like this - Brian McKnight -

0 komentar: