Di dasar relung jiwaku, bergema nyanyian tanpa kata;
sebuah lagu yang bernafas di dalam benih hatiku,
Yang tak bisa dicairkan oleh tinta di atas lembar kulit ;
ia meneguk rasa kasihku dalam jubah yg tipis kainnya,
dan mengalirkan sayang,
Namun bukan menyentuh bibirku.
Betapa dapat aku mendesahkannya?
Aku bimbang, dia mungkin berbaur dengan kerajaan fana
Kepada siapa aku akan menyanyikannya?
Dia tersimpan dalam relung sukmaku
Karena aku risau, dia akan terhempas
Di telinga pendengaran yang keras.
Pabila kutatap penglihatan batinku
Nampak di dalamnya bayangan dari bayangannya,
Dan pabila kusentuh ujung jemariku
Terasa getaran kehadirannya.
Perilaku tanganku saksi bisu kehadirannya,
Bagai danau tenang yang memantulkan cahaya bintang-bintang bergemerlapan.
Air mataku menandai sendu
Bagai titik-titik embun syahdu
Yang membongkarkan rahasia mawar layu.
Lagu itu digubah oleh renungan,
Dan dikumandangkan oleh kesunyian,
Dan disingkiri oleh kebisingan,
Dan dilipat oleh kebenaran,
Dan diulang-ulang oleh mimpi dan bayangan,
Dan difahami oleh cinta,
Dan disembunyikan oleh teriknya siang
Dan dinyanyikan oleh sukma malam.
Lagu itu lagu kasih-sayang,
Gerangan ‘Cain’ atau ‘Esau’ manakah yang mampu membawakannya berkumandang?
Nyanyian itu lebih semerbak wangi daripada melati,
Suara manakah yang dapat menangkapnya?
Kidung itu tersembunyi bagai rahasia perawan suci,
Getar nada mana yang mampu menggoyahnya?
Siapa berani menyatukan debur ombak samudra dengan kicau bening burung malam?
Siapa yang berani membandingkan deru alam,
Dengan desah bayi yang nyenyak di buaian?
Siapa berani memecah sunyi
Dan lantang menuturkan bisikan sanubari
Yang hanya terungkap oleh hati?
Insan mana yang berani melagukan kidung suci Tuhan?
(Dari Kahlil Gibran - ‘Dam’ah Wa Ibtisamah’ -Setetes Air Mata Seulas Senyuman)
0 komentar:
Posting Komentar