cerita tentang hati

Rara diam memandangi cincin yg melingkar di jari
manisnya. Ini bukan cincin tunangan, ini hanya
Cincin tanda kasih, dari Bayu, laki-laki baik yang
selama ini mengisi hari- hari nya.

Bayu, seorang muslim yang baik, pintar dan penuh
perhatian. Rasanya nggak ada alasan untuk menolak
tawaran cintanya.

Tapi kami berbeda. Aku seorang katholik.

Apakah cinta meng'haram'kan adanya jarak dalam
 perbedaan?.

........

Tiba-tiba saja, wajah ibuku melintas. Aku jadi ingat beliau
 pernah bilang,
"Mama memimpikan kamu berjalan di altar, dengan baju
pengantin Jawamu.
Kamu pasti cantik..."

Sekarang, aku tak tau apa yg ada di pikiranku.
Aku mencintai semua. Aku tak ingin membuat siapapun terluka

Sampai, satu saat, aku sadar bahwa hidupku adalah
tentang keyakinan ku dan Tuhan. Dan akulah penentu
semua yg ada di hati ku.
Apa yg ingin aku yakini, itu adalah 'deal' antara aku
dan Tuhan.
That,'s it!

AKu pasrahkan semua pada Tuhan. Bekerjalah sesukaMu
 atas aku.

......

"Asyhadu alla illahailallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah"

Bekerjalah sesukaMu Ya Allah atas aku, aku akan selalu mencintai Mu

#bukan karena apa-apa dan siapa-siapa, tapi karena Mu.
Karena cinta Mu



(Ibrahim 4; .An Nahl 93)








Rasa Jiwa


Dalam gamang aku menunduk dalam,
Berharap tangan Mu menyentuh pundak ku

Akalku tak bisa lagi mengukur jarak,
Jarak antara rasa syukur dan egoku

........

Bisikkan suara Mu Ya Rabbi

Bisikkan ke dalam jiwaku


Agar aku bisa mendengarkan
 Kejernihan suara sukma
Agar tetap  menjadi putih


(Ar Rum 23;  Lukman 12 ;  An Nur 46)

Kok..

Aku ngerti kok, kalau rasa yang menggelegak di dada tak semuanya harus dijalin kata per-kata

Aku ngerti kok, kalau  kadang rasa itu tak punya makna apa-apa

Aku juga ngerti kok, kalau simbol yang ku lempar tak juga tertangkap 

Aku ngerti kok...
Nggak usah kawatir

aku ingin mulai (lagi)

Ah sudah lama aku nggak nulis
Bukan tak ada cerita, tapi mungkin terlalu banyak
Jadi bingung mulai dari mana

Aku menulis karena aku hanya ingin jujur, jujur dengan apa yg kulihat, 
kupikirkan dan aku rasa

Karena jujur pada diri sendiri menurutku adalah awal dari kejujuran
kepada hal lain di luar diri kita

Pada saat apa kita menjadi diri sendiri?

Pada saat bersamanya dan pada saat menulis...

hmm... Bukankah jujur lebih bisa melapangkan dada??