Psikologi Kucing

Psikologi Kucing

(terasa) asing

Aku melihatmu melintas di depanku. Dengan muka yang asing, dengan tatapan mata asing dan dengan bahasa tubuh yang asing.

Tapi getaran-getaran itu yang menyakinkanku bahwa itu kamu.

Ada gurat sedih dalam tatapmu, dalam tuturmu - yang bukan kepadaku -


(lalu, untuk apa kamu lakukan ini untuk aku ?)

#selfnote

Sulastri

Bagiku, mungkin ada yang namanya anugerah di dunia ini. Namun hal itu terus berkelebat di otakku tanpa ada satu pengabulan yang nyata. Harusnya ada senyum dan derita. Tapi mengapa pilihan kedua lebih dominan dalam hidupku ?

Aku sering dapati jiwaku berlari dalam kekangan maya, berteriak menghambur kesetiap sudut yang bernama, k e n a n g a n.

Senja mulai memeluk malam. Dan aku duduk di sini di atas kursi Jepara tua. Menikmati setiap desah senja yang pasrah dalam cumbuan malam. Indah tak terkatakan. Tak salah bila seseorang ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Aku setuju, sangat. Namun, sepotong senja ini takkan kuberikan kepada siapapun.

Mungkin lebih baik untuk diriku sendiri, biar bisa kunikmati dengan sepenuh hati. Bahkan bila mungkin akan kusimpan dalam toples kacang Bali ............

Surat (1)

Kediri, 17 Januari 2011


Yth. Kang Ponidi
di mana saja


Kang,

Aku ngerti dan sangat tahu, bahwa surat ini pasti tidak pernah sampai di tempatmu.
Tapi ndak apa-apa, aku pengen nulis (rasanya kepingin ngobrol sih) sama kamu.

Semenjak kamu ndak ada, aku mulai merasakan kesendirian. Memang benar ya Kang, yang orang bilang, bahwa 'sesuatu itu akan lebih berarti kalau sudah tidak ada'...
Tapi masalah kita ini kadang justru membuat aku jadi lebih sabar dan bisa menahan hati.

Aku jadi punya banyak waktu buat merenung, intropeksi diri. Apa yang kurang dari diriku.
Aku ndak pengen mikir apa yang kurang dari orang lain. Aku tau Kang, aku harus memperbaiki diri dulu baru menuntut orang lain menjadi baik (menurut kacamataku)

Kang,

Mungkin malam ini kamu sedang makan pecel lele ya dengan, siapa Kang ? teman SMA mu itu ? Su Marni ?. Ah aku bisa membayangkan pasti asyik ya bisa makan berdua.
Kamu inget Kang, dulu kamu suka bilang
Inget nggak Kang ?"Rasa cemburu itu bisa bikin pengen muntah".
Gara-gara itu kan yang bikin kita jadi dekat ?

Ah, sekarang aku nggak bisa memaksa kamu jadi ingat ya Kang. Aku bukan siapa-siapa kamu lagi....

Kang,

Tapi apapun pilihan hidupmu, aku selalu mendoakan kebahagianmu, kesuksesanmu. Itu semua karena aku masih dan akan selalu menyayangimu..

Kang,

Besok pagi aku mulai kerja lagi. Jadi Kasir di M****** Dept. Store, doakan aku ya Kang, semua bisa berjalan lancar. (ah, masih maukah kamu mendoakan aku ?)
Sudah ya Kang, sudah malam. Salam kagem bapak dan ibu ya Kang...


Aku,

Sulastri

P n S (dan S)


Sulastri menatap Ponidi yang mengemasi barang-barangnya.

Saat mengambil satu photo mereka 5 tahun yang lalu, photo ketika mereka belum menikah, Ponidi sesaat terdiam. Sulastri melihat sekilas Ponidi menghela napas panjang, lalu memasukan photo itu dalam tasnya.

Hari ini, seminggu setelah pembacaan ikrar talak mereka. Ponidi datang untuk mengemasi barang-barangnya. Dia akan pulang ke kampungnya, Nganjuk dan tinggal di sana.

Pada akhirnya mereka berdua tak sanggup lagi saling membohongi diri. Ternyata hidup berbagi sebagai pasangan suami istri tak cukup hanya bermodalkan cinta pada pandangan pertama. Tak cukup juga hanya pada kekaguman raga.

Mereka menyadari, bahwa ada rasa sayang antara mereka yang tak bisa mereka urai dengan kata. Dan mana ada yang percaya jika setiap kata yang terucap selalu jadi penyebab satu pertikaian yang tak ada ujungnya.

Mungkin cinta mereka akan lebih indah bila ada di hati yang tak -lagi- berlumur amarah. Mungkin cinta mereka akan lebih sejuk bila mereka bersaudara. Alasan itulah yang menguatkan mereka untuk menyudahi semuanya.

Pedih buat Sulastri. Mungkin perih juga untuk Ponidi.

"Ponidi ndak mungkin bisa hidup sendiri tanpa seorang istri", kata itu yang selalu terngiang di hati Sulastri.
Itu ucapan ibu Ponidi beberapa bulan yang lalu padanya.
Dan sekarangpun, Sulastri mendengar berita dari salah seorang kerabat di desa bahwa mantan pacar Ponidi semasa SMP di desa mulai di'dekat'kan lagi dengan Ponidi. Sumarni namanya.

Gadis desa lugu yang manis dan pastinya memiliki hati yang tak sekeras Sulastri.

"Aku pergi dulu ya Nduk", kata Ponidi lirih.
"Sing ngati-ati jaga diri. Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi aku".

"Iya Kang, Kakang juga sing ngati-ati", sekuat tenaga Sulasti menahan airmatanya.

Setelah mengikat tasnya di atas motornya, memakai jaket dan helm, Ponidi pun pergi.

Sulastri menatap punggung Ponidi menjauh. Dia sadar bahwa 'sebagian hatinya' kini sudah pergi.
Dan dia tahu, hati Ponidi bukan untuk dia lagi. Ada Sumarni yang akan mengambilnya.

Sulastri mengusap airmatanya, masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya.

Dia tahu, bahwa hidup bukan cuma hari kemarin dan hari ini saja....

(..sebuah pengembangan cerita dari "Su Marni Dalam Imajinasi" - D. Herwindo)

welcome back


Fuih, akhirnya liburan benar-benar telah usai. Alhamdulilah semua berjalan dengan lancar, hati senang, dan yang penting persaudaraan tambal kental !. Hohoho...

Sekarang saatnya kembali ke rutinitas semula. Anak-anak sekolah, aku mulai -lagi- memasak, mencuci, beberes, dan membuat another planning agar semuanya tetap berhati senang dan bahagia....

Welcome back my days, be a good wife, mother, best friend, sister, daughter........hopefuly :D !



P dan S


Ponidi mengisap rokoknya dalam-dalam dan dihembuskan asapnya dengan keras ke udara seperti hendak melepaskan rasa marahnya. Sulastri tertunduk sambil terus berusaha mengusap airmatanya dengan tissu yang sudah banyak berserakan di lantai. Mereka baru saja berdebat keras. Tepatnya bertengkar hebat.

Setelah menghabiskan satu batang rokok kreteknya tiba-tiba Ponidi berdiri dan duduk di samping Sulastri, "Maafkan aku atas perbedaan ini", katanya sambil meraih tangan Sulastri.

"Aku juga minta maaf Kang, untuk kekerasan hatiku", kata Sulastri menyambut jabatan tangan Ponidi.

Mereka, Sulastri dan Ponidi, adalah dua pribadi yang sama. Sama-sama keras kepala. Keras hati. Hampir disetiap pertengkaran mereka tidak pernah ada penyelesaian, kecuali kata "maaf". Malam ini adalah pertengkaran yang ke seratus lima kalinya dalam masa pernikahan mereka yang baru berjalan 3 tahun.

Esok paginya, mereka berdua seperti dua orang yang baru saling kenal. Tidak ada 'kebersamaan'. Ponidi menyiapkan kopi kentalnya sendiri pagi ini, dan Sulastri mencuci motornya sendiri. Tidak ada canda tawa seperti hari-hari kemarin.

Ketika berpapasanpun mereka seolah tak berani saling tatap. Mungkin terasa ada rasa asing diantara mereka setelah lelah melalui pertengkaran demi pertengkaran.

Mereka berdua menyadari perbedaan yang tak mungkin mereka satukan. Perbedaan pandangan hidup, berbedaan cara memandang satu masalah, dan masih banyak perbedaan lain yang selalu jadi pemicu keributan antara mereka. Tapi entah kenapa di antara mereka masih ada rasa saling mencinta ?

Ponidi dan Sulastri, asyik dengan kegiatan mereka, dalam dunia mereka sendiri-sendiri. Entah apa yang ada dalam benaknya....

...satu catatan

...aku suka dengar tawamu,
tapi aku tak bisa lihat bibirmu..

...aku suka tulisanmu,
tapi aku tak pernah bisa lihat tanganmu

...aku suka lagumu,
tapi aku juga tak pernah lihat kamu menyanyi

andai saja aku tahu siapa kamu aku hanya mau bilang,

"SELAMAT TAHUN BARU", "Tolong selalu jaga senyumku di hatimu"...