"Catatan Tentang Hari"



Pagi kemarin, aku bertemu seorang bocah laki-laki berseragam bawah merah dengan memanggul tas ranselnya yang tidak terlalu besar berjalan di depanku dengan senyum mengembang di bibirnya. Aku tahu ia pasti sedang menuju ke sekolah untuk bertemu teman-temannya. Tidak hanya untuk bermain, tertawa tapi juga belajar.

Belajar mengerti mengapa permen di sakunya yang berjumlah 5 pagi tadi, kini tinggal 1. Mengapa ia harus membayar 500 rupiah untuk 2 roti yang ia beli di kantin. Ia belajar bagaimana cara menulis dan mengucapkan dengan benar nama lengkapnya. Bocah laki-laki itu akan belajar bagaimana cara membaca buku cerita favoritnya.

Siang kemarin, aku melihat seorang wanita berumur 20-an berkaos biru muda bersama seorang pria naik mobil putih yang bertipe lama. Matanya yang bulat seakan-akan awas terhadap sekelilingnya. Berkali-kali ia melihat bergantian ke arah spion dan lampu lalu lintas yang masih menyala merah. Berkali-kali pula ia mengangguk saat si pria berbicara kepadanya.

Aku tahu wanita 20-an itu pasti sedang belajar mengendarai mobil. Aku menyimpulkannya dari tulisan berhuruf besar-besar di atas mobil putih. Ia pasti belajar bagaimana cara menghidupkan mesin mobil. Belajar bagaimana cara menjalankan mobil di jalan raya yang mulai tak sepi, kini. Wanita berumur 20-an itu pasti akan memahami mengapa ia harus mendahului kendaraan di depannya dari sebelah kanan.

Sore kemarin, seorang gadis berambut hitam lurus mendahuluiku dengan sepeda jingganya. Ia pasti ingin segera sampai di tempatnya menambah pengetahuan yang tak ia peroleh di sekolahnya.

Di situ, seperti tempat-tempat yang sama, ia akan belajar memahami setiap gerakan yang dicontohkan pelatihnya. Ia akan belajar menyesuaikan gerakan tubuhnya dengan irama yang ia dengar. Gadis bersepeda itu akan belajar menghafal tiap gerakannya dalam sebuah tarian agar ia bisa mempertontonkannya pada ibunya, ayahnya, saudara-saudaranya, teman-temannya bahkan mungkin orang lain yang tak pernah ia kenal.

Malam kemarin, seorang laki-laki berkacamata minus naik mobil keluaran terakhir berwarna biru, berhenti tepat di sebelah mobilku di traffic light Jl. Kaliurang. Dia pasti akan pulang ke rumah. Ia mengenakan baju rapi ala pekerja kantoran, dan dalam mobilnya masih disibukan dengan telepon genggamnya yang tak pernah lepas dari genggamannya, sembari menyetir. Aku melihat ada tulisan satu perusahaan asuransi pada lengan kiri kemejanya. Ah, pegawai asuransi rupanya.Paling tidak itulah yang kutangkap dari tindak tanduknya. Pemuda itu pasti sedang memprospek kliennya untuk bertambah yakin dengan produk asuransi perusahaannya. Itu dia lakukan demi anak istrinya di rumah mungkin, atau pacarnya, atau tunanganya atau mungkin adik2nya juga kedua orang tuanya.

****

Pagi ini, aku bertemu kembali dengan bocah laki-laki berseragam bawah merah. Kali ini ia bersama 2 orang temannya. Berjalan sambil bercerita pengalaman masing-masing setelah pulang dari sekolah, kemarin. Sesekali mereka tertawa. Tas yang mereka bawa berisi buku-buku tentang cara menghitung dan membaca. Mereka masih belajar. Dan mereka merasa senang. Itu yang tergambar pada wajah mereka.

Siang ini, di perempatan yang sama, aku melihat lagi wanita berumur 20-an yang sedang belajar mengendarai mobil saat aku menyeberang. Tapi kali ini dia memakai kemeja warna merah muda dan rambutnya yang panjang dikuncir satu seperti ekor kuda. Saat lampu hijau menyala dan mobilnya mulai berjalan, terlihat sekali ia belum terlalu mahir menyetir. Sepertinya ia harus terus belajar agar benar-benar mampu mengendarai mobilnya tanpa diawasi.

Sore ini, pun, gadis berambut hitam lurus kembali mendahuluiku di sebuah jalan kampung yang kulalui setiap hari. Sambil bersenandung ia mengayuh sepedanya sekuat tenaga untuk sampai di tempatnya belajar menari. Sepertinya tak pernah lelah dan tak pernah bosan ia menuju tempat itu untuk belajar. Karena ia menyukainya.

Malam ini, saat aku pulang membeli isi kulkas di salah satu supermarket di jalan Kaliurang, di traffic light yang sama kembali aku bertemu laki-laki berkacamata minus itu dengan mobil yang sama dan seragam yang sama, dan tetap dengan telepon genggam yang menempel di telinganya. Bahkan kini mobilnya berhenti tepat persis di samping mobilku. Lebih dekat dari kemarin. Ia mengeluarkan sebuah buku setebal 1 cm dan menuliskan sesuatu hasil percakapannya di telepon genggamnya. Kali ini dia lebih serius memahami tiap kata dengan lawan bicaranya itu. Dia tak merasa terganggu meski ia harus menelpon sambil memegang setir dan menunggu lampu menjadi hijau kembali. Begitu serius ia menelpon, mencatat, tertawa hingga membuatku tertarik terus melihat ke arahnya. Aku hanya berpikir ‘Apa yang dibicarakannya hingga membuatnya begitu serius tak perduli sekelilingnya ?’.

Aku pikir pagi esok, bocah laki-laki berseragam itu, dan kedua temannya, masih berangkat ke sekolah untuk belajar dengan wajah riang. Sambil sesekali berlari, tertawa, dan bercerita. Esok, esok dan esoknya lagi ia akan menuju rumah keduanya, sekolah, sampai ia benar-benar pandai menghitung dan membaca. Selama ia masih menyukainya, tentunya.

Aku pun merasa, siang esok, wanita berumur 20-an itu tetap melintasi perempatan tempatku menyeberang. Ia akan masih ditemani seorang pria dari tempat kursus mengemudi tempat wanita itu mendaftarkan diri sampai ia mahir mengendarai mobil di jalanan yang dipenuhi kendaraan-kendaraan bermotor. Karena ia memang menginginkannya.

Begitu juga gadis berambut lurus, sore esok pasti akan tetap mendahuluiku dengan sepeda jingganya. Ia akan mengayuh sepedanya ke sanggar tempatnya belajar menari. Ia akan melakukan terus sore esok, esok, dan esoknya lagi hingga ia mahir menari tarian yang diajarkan pelatihnya di sanggar. Karena ia bangga bisa menari.

Aku juga akan terus bertemu pemuda asuransi berkacamata minus malam esok di traffic light yang sama. Setiap pulang kantor pasti ia masih menelpon, mencatat, tertawa dan mungkin membuat janji sekedar minum kopi dengan koleganya. Demi mencapai tujuan hidup entah dengan keluarganya ataupun dengan kedua orangtuanya.

Tiap hari aku melihat dan bertemu orang-orang bahkan anak-anak kecil pergi ke sekolah, tempat kursus, sanggar, tempat bimbingan belajar ataupun kantor untuk belajar memahami, mengerti, mencoba, menguasai hal-hal yang sedang mereka hadapi. Hal-hal yang mereka sukai, mereka inginkan. Hal-hal yang ingin mereka dapatkan dan kuasai hingga membuat mereka bangga. Ada tempat untuk mereka belajar mengerti akan benda-benda, ilmu-ilmu, masalah-masalah empirik. Ada tempat untuk mereka memahami suatu teori untuk mereka praktekkan.

Namun aku belum pernah melihat dan tak pernah tahu dimana tempat yang bisa kudatangi untuk berbagai masalah tentang hati dan perasaanku. Dimana aku bisa belajar memahami sifat orang lain? Dimana aku bisa belajar mengerti maksud orang lain? Aku pun belum pernah tahu dimana tempat yang bisa kudatangi dan aku bisa mendaftar sebagai muridnya untukku belajar menyatukan 2 hati yang benar-benar berbeda. Aku pun ingin tahu dimana aku bisa menyekolahkan kepekaanku hingga ia benar-benar berfungsi dengan baik saat aku berhadapan dengannya. Aku, ingin memahami seseorang itu dengan segala sifatnya. Aku, ingin mengetahui maksudnya tanpa ia sendiri yang mengucapkannya.

Dimanakah tempat itu ada ? Apakah bocah laki-laki berseragam atau wanita berumur 20-an atau gadis berambut hitam lurus atau pemuda asuransi berkacamata minus itu tahu dimana tempat yang aku maksud ?.....

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Ia sangat dekat, lebih dekat dari bola mata hitam yang berada ditengah bola mata putih, Ia lebih dekat dari pada hati dan keinginan, Ia teramat dekat dengan kita, hingga jarang kita sadar akan keberadaannya. siapakah Dia ?

DemetriaRinie mengatakan...

hmm...iya sih, paling enak talking with ourselves...hihihihi
Juga share with Allah ta'alla. Nggak langsung dijawab tapi PASTI dijawab dan PASTI BAIK BUAT KITA... :))