"Bila Hijau Tak Bisa Menjadi Merah"
Jantung Sarah tak kuasa menahan degupnya saat bertemu dengan Faiz. Faiz masih tetap seperti dulu, wajah yang tenang, senyum yang tak banyak, dan postur tubuhnyapun tak berubah, sama seperti saat mereka masih kuliah, 10 tahun yang lalu. Bedanya sekarang Faiz tak sendiri. Ia sudah bersama seorang perempuan cantik dan lembut, tinggi semampai dan berjilbab. Juga seorang gadis kecil yang manis dengan jilbab merah mudanya.
"Hai Faiz, apa kabar ?", aku menyapanya di airport tempat kami bertemu
"Sarah ?", wajah Faiz agak terkejut sesaat, kemudian dia bisa menguasai suasana.
Kami bersalaman dengan canggung, kemudian dia mengenalkan istri dan anaknya yang lucu. Dan akhirnya kamipun terlibat percakapan seru sambil menunggu penerbangan kami yang tertunda 2 jam. Beberapa kali aku melihat Faiz mencuri pandang kepadaku, entah apa yang ada dipikirannya...
hmm....
Tiba-tiba saja lamunan melayang ke masa 10 tahun yang lalu. Saat aku dan Faiz sama-sama kuliah di Fakultas Komunikasi sebuah universitas negeri ngetop di sini.
Saat itu aku semester 4 dan dia baru masuk. Kami bertemu di Perpustakaan kampus, kebetulan kami mencari buku yang sama, Menjalin Komunikasi Otak dan Rasa, karangan Sumartono.
Karena buku itu tidak kami temukan di Perpustakaan, maka kami sepakat untuk mencarinya di toko buku bersama-sama.
Sejak saat itu kamipun menjadi akrab dan sering berdiskusi soal materi kuliah hingga soal-soal kehidupan. Walaupun dia lebih muda dari aku, tapi dia adalah seorang anak yang cerdas dan sangat dewasa.
Entah siapa yang memulai, kamipun sepakat untuk menjadi sepasang kekasih. Kekasih yang tak 'biasa'. Karena diantara kami ada beberapa perbedaan. Aku seorang penganut Katholik dan Faiz adalah seorang muslim yang sangat taat, karena dia berasal dari keluarga salah satu pesantren di Jawa Timur. Usiakupun lebih tua 2 tahun darinya.
Tapi perbedaan-perbedaan itu tidak menjadikan alasan buat kami berdua untuk tidak melanjutkan hubungan kami. Kami tulus menjalaninya, hingga....
Sore itu kami bertemu di kedai es langganan kami seperti biasa. Tapi, wajah Faiz sore ini tidak seperti biasanya. Ada kegundahan yang nyata di wajahnya.
"Ada apa Is ?", tanyaku
Dia menatapku tajam, seolah tidak ingin membagi kesedihannya padaku.
Dia raih tanganku dan digenggam erat seolah tak mau lepas.
Aku semakin curiga, dan dengan agak mendesak aku bertanya lagi,
"Kenapa sih Is, cerita deh, kalo gini aku juga jadi gag nyaman"
Akhirnya diapun pelan-pelan bercerita kepadaku. Minggu kemarin orang tuanya menanyakan tentang hubungannya denganku. Menjadi 'perhatian' keluarga besarnya, karena aku seorang Katholik. Orang tua dan saudara-saudaranya tidak setuju dengan hubungan kami, dan menginginkan diakhiri. Kecuali dengan satu syarat bila aku pindah keyakinanku menjadi seorang muslimah.
Aku terkejut, walaupun aku tahu hal ini cepat atau lambat pasti terjadi diantara kami. Dan terus terang, aku tidak bisa pindah keyakinan. Karena aku tidak siap secara bathin. Bukankah agama adalah satu keyakinan hati ?..
Lama kami mendiskusikan hal ini, dan akhirnya kami pada satu kesimpulan bahwa kami tak bisa bersama lagi.
Pedih, sedih memang. Tapi kami sadar, kami berdua manusia dewasa yang sudah tahu akan konsekuensitas suatu hubungan yang 'berbeda'.
2 tahun berikutnya aku lulus duluan, dan aku memutuskan untuk hijrah ke Jepang, di tempat salah satu adik ibuku. Dan kamipun berpisah dalam artian yang sebenar-benarnya...
Dalam hatiku aku tidak bisa melupakannya, entah dia...
...........
10 tahun itupun sudah berlalu lama, dan hari ini aku bertemu lagi dengan Faiz yang sudah beristri juga gadis mungilnya. Sedangkan aku ? Hingga 10 tahun setelah perpisahan itu, aku masih sendiri.......sendiri bersama lamunanku, entah sampai kapan.....hmm
...................
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar