"Tempat Yang Tenang Itu Ternyata...."
Bu Parmi duduk di bawah pohon akasia di sebuah Rumah Sakit Jiwa tempat aku berpraktek di kota kecil yg sejuk. Matanya kosong menatap jauh kedepan seolah tanpa batas. Terkadang ada bulir airmata yg menetes, yg kemudian buru2 dia usap2 dg saputangan lusuhnya.
Hampir 2 bulan ini dia menjadi pasien kami. Tapi kata2 yg keluar dari mulutnya dapat dihitung dengan jari. Kegiatannya hanya puasa 2 hari sekali, sholat dan membaca Al Qur'an - dalam hati, tanpa suara-. Bu Parmi datang ke sini diantar oleh anak laki-laki tertuanya, Sigit. Anaknya menceritakan hampir setahun ini Bu Parmi 'membisu'. Kadang menangis terisak2 tanpa sebab.
Suami Bu Parmi adalah laki-laki 'perkasa' yg merajai pasar malam di desanya. Tiap hari bermain judi kartu, main perempuan dan mabuk.
Anak perempuan satu2nya adalah seorang penyanyi dangdut organ tunggal, yg setiap malam selalu bersama laki2 yg berbeda.
Hanya Sigit, anak laki2 satu2nya, yg bisa mengerti perasaannya. Mereka berdua yg rajin berdoa buat keinsyafan suami dan anak perempuannya. Mereka jg rajin berpuasa agar Allah memberikan hidayah-Nya pada mereka berdua.
Namun hari demi hari bukannya berubah, malah menjadi2. Seluruh harta yg Parmi kumpulkan dari berjualan rempeyek di pasar, habis di meja judi suaminya.
Dalam lelahnya Parmi sering berdoa, "Ya Allah, kirimkan aku ke tempat yg tenang"
"Tempat yang tidak membuatku gelisah, tempat yg membuat aku hanya merasa berdua denganMu"
Lama kelamaan Sigit tak bisa menangani 'kebisuan' ibunya ini apalagi Sigit akan bekerja ke Batam, maka Sigit memutuskan akan 'menitipkan' ibunya ke Rumah Sakit Jiwa .
"Saya kasian sama ibuk Bu Dokter, kalo tetap tinggal sama Bapak dan Ningsih sementara saya tidak ada", kata Sigit dihari ia datang pertama kalinya
"Nanti ibuk makin di sia-sia, nanti ibu ndak ada yang memelihara"
Waktu Sigit pamitpun, Bu Parmi hanya menganguk2 dan meneteskan airmata, tanpa sepatahkatapun keluar dari mulutnya
"Ibu di sini aja ya buk, nanti ditemeni sama bu dokter Devi"
"Saya mau kerja, cari duit yg banyak, nanti ibuk tak jemput, trus kita jalan2,seneng2, nggih bu", kata Sigit dg suara lembut.
Aku tak kuasa menahan rasa haruku..
Selama Sigit 'menitipkan' Bu Parmi di sini, hampir 2 minggu sekali Sigit mengirimkan surat pada ibunya. Menceritakan keadaannya di sana. Selalu ada senyum di wajah Parmi setiap membaca surat anaknya. Tapi tetap tanpa kata-kata, diam..
................................
Setelah 6 bulan berselang, Sigit datang memenuhi janjinya untuk menjemput ibunya, untuk dibawa ke Batam. Tp Bu Parmi menolak, "Nak, dulu ibu selalu berdoa sama Allah minta dikirimkan ke tempat yang tenang" "Tempat dimana ibu merasa nyaman, tenang ndak mikir apa-apa dan dekat dengan Alloh"
"Dan setelah hampir 6 bulan ibu di sini, ibu merasa inilah tempat yang tenang itu" "Disini ibu merasa dekat dgn Allah, ibu bahagia di sini nak".
Terus terang baru saat itu aku mendengarkan suara Bu Parmi. Suaranya lembut penuh kesabaran.
"Injih saya mengerti bu, kebahagiaan ibu di atas segala-galanya buat saya", kata Sigit. Selanjutnya mereka berangkulan. Sigit menangis, begitu juga Bu Parmi. Tapi aku yakin kali ini bukan tangisan kegundahan, tapi tangisan kelegaan.
Di satu tempat yang tenang....di sini...di sebuah Rumah Sakit Jiwa...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar