"Kado Cinta Untuk Mantan Terindah"

Aku suka banget cerita ini. Rasanya susah untuk tidak memuat dalam blogku.....:))

...................

Saya sudah pulih dari masa perkabungan atas meninggalnya cinta kita, Yo’. Bagaimana dengamu? Apakah kamu masih menyimpan rasa bersalah pada saya? Semoga tidak, karena saya tidak pernah marah padamu meski kamu selalu ingin saya marah atas apa saja yang tidak seharusnya kamu lakukan pada saya. Bagaimana bisa saya marah, kalau ternyata kamulah pria yang pernah membuat saya tidak bisa tidur semalaman karena bahagia. Cukup sederhana kan alasan saya? Ya, tapi saya rasa kamu tidak pernah paham.

Yo’, tahun pertama kita berpisah, saya berkubang airmata. Ada yang hilang dari hidup saya; energi yang selalu kamu suplai. Terseok-seok saya berjalan sendirian tanpa bantuanmu ibarat bayi yang disapih dengan paksa tanpa persiapan. Tiap malam saya merasakan sakit sejak kepergianmu yang tanpa alasan itu—seolah-olah saya memang layak untuk kamu tinggalkan dengan cara yang konvensional. Komunikasi kita pun jadi sedingin lemari pembeku daging. Sia-sia saya nyalakan lilin di dalamnya karena api mungil tak mampu lagi menghangatkanmu. Saya lupa, Yo’.. Saya lupa bahwa kita orang yang sama persis, dan logika saya mengatakan bahwa sesuatu yang sama tidak melahirkan variasi yang cukup baik. Kita saling menguatkan secara emosional tetapi tidak sejalan dalam kenyataan.


Ketika tahun kedua berjalan, saya sudah punya kitab suci berisi kumpulan puisi yang saya persembahkan untukmu. Saya menulisnya tiap malam di sela-sela mimpi buruk dan keringat dingin yang bercucuran. Foto-foto kita memenuhi lemari pakaian saya, lagu-lagumu jadi penghuni tetap playlist komputer kamar, dan buku-bukumu menjelma dongeng pengantar tidur untuk saya. Sedih itu belum terhapus benar, Yo’. Saya bahkan masih selalu mencari-cari sosokmu dalam diri orang lain dan berharap bisa berbahagia untuk keduakalinya. Maka berbekal segala macam atribut yang kamu tinggalkan, saya mencari-cari penggantimu. Akan tetapi cara ini rupanya tidak menyembuhkan, Yo’. Saya jadi makin sakit karena bahagia itu semu seperti bayanganmu.

Tahun ketiga ketika kamu tampar saya di muka umum dengan kata-kata, saya jadi tahu bahwa memang tidak seharusnya kita bersama, Yo’. Saya pun mengemasi semua artibut-atributmu dari kamar saya lalu saya masukkan kantung plastik berwarna hitam lengkap dengan tulisan ‘haram’. Hari itu saya resmi pensiun jadi pengagum gilamu tanpa pesangon apapun kecuali rasa ikhlas. Saya bahagia bahkan untuk menatap lagi jejak-jejak kita dulu yang penuh warna hitam. Entah kenapa saya seperti baru saja siuman dari tidur panjang yang menjemukan.

Saya bertemu dengannya di tahun keempat kita berpisah, Yo’. Tiba-tiba saya ingin pulang. Saya lelah berjalan sendirian dengan sinar yang redup. Saya rindu rumah yang memberi saya ruang tetap, yang melindungi saya, dan selalu jadi tujuan bersarang. Rumah yang dulu kamu janjikan semudah menjanjikan diskon pada wanita penggila belanja.

Diantara kebahagiaan saya ini, sebuah kado cinta saya persembahkan untukmu Yo’. Kado berlapis atas kesembuhan saya. Kamu pasti tadi sudah membukanya satu persatu sampai kamu menemukan kado yang begitu mungil ini—tak lebih besar dari hatimu. Semoga ini jadi kado terakhir dan terindah dari saya untukmu sebagai ganti doa yang kamu tasbihkan untuk saya setiap malam untuk mengurangi rasa bersalahmu pada saya.

Kado itu..

“Saya jatuh cinta, Yo’..”

Saya tutup halaman terakhir buku puisi bersampul ungu itu lalu saya masukkan dalam sebuah kotak. Biar lebih rapi dan aman, saya bungkus dengan kertas kado bergambar dedaunan. Saya tulis nama dan alamat lengkapmu, Yo’. Semoga kamu belum pindah dari rumah tingkat dekat kuburan dimana segerombolan anak kecil sering membuat keributan di bawah kamarmu.

Semarang, 21 April 2010

(catastrovaprima)

0 komentar: